Oblok Rajungan Tuban Mulai Hilang

SEMANDING

OBLOK RAJUNGAN: Salah satu kuliner aseli Tuban yang belakangan mulai sulit ditemukan.
OBLOK RAJUNGAN: Salah satu kuliner aseli Tuban yang belakangan mulai sulit ditemukan.

seputartuban.com-Sejumlah kuliner khas Tuban yang sebelumnya mudah didapat, perlahan tapi pasti seolah menghilang di pasaran, Salah satunya adalah Oblok Rajungan. Konon, kuliner spesial untuk menjamu para konglomerat itu kini sudah jarang dijumpai.

Banyak alasan ketika menanyakan kepada pemilik warung, ketika ditanya apakah menyediakan
rajungan yang dimasak dengan kuah sari kelapa tersebut. Salah satu alasannya, Harga rajungan makin mahal. Untuk satu kilogramnya saja dihargai Rp 200 ribu. Biasanya
berisi lima sampai tujuh rajungan. Setelah dimasak dengan bumbu santan dan rempah
lainnya, setiap rajungan bisa dijual sampai Rp 55 ribu.

Mahalnya masakan rajungan untuk kantong warga Kabupaten Tuban itulah yang membuat pemilik warung enggan menyediakannya. Apabila dipaksakan, maka sedikit konsumen yang membelinya. Namun juga tidak jarang pembeli yang sengaja membelinya hanya sekedar “nyidam“.

Seperti yang diungkapkan Narti, perempuan 35 tahun asal Kecamatan Semanding. Dia mengatakan, sebenarnya Oblok Rajungan jarang diminati pembeli. Selain mahal harganya,
rajungan sulit ditemukan di pasar ikan. Cuaca laut yang tidak menentu menjadi salah satu penyebabnya.

“Kalau lagi tidak musim malah mahal. Kita belinya susah, harus pesan. Kalau tidak ya tidak masak,“ kata Narti.

Terkait sulitnya jenis ikan rajungan, Slamet, warga Kecamatan Palang, menjelaskan bahwa sedikit nelayan yang mau mencari rajungan. Sebab, untuk menangkaprajungah dibutuhkan jarring khusus. Hasilnya, tidak mencukupi untuk operasional melautnya.

“Kalau rajungan itu musimnya satu tahun dua kali. Jala dan lokasinya juga khusus. Kalau ada biasanya kapal besar,“ ujar pengepul rajungan itu.

Langkanya makanan khas Tuban ini juga dirasakan , Khoirul Sauqha. Sedikitnya masakan dengan rasa pedas, gurih  dan berprotein tinggi itu karena sedikit warung yang mau berisiko tidak laku. Sehingga lebih menjual masakan yang umumnya murah dan mudah terjangkau.

“Mungkin mahal, Mas. Memang sulit dibeli, tapi bagi para penikmat terkadang sampai harus memasak sendiri,“ jelasnya. HANAFI