TUBAN
seputartuban.com-Kabupaten Tuban yang selama ini populer sebagai salah satu sentra jagung di Jawa Timur, realitanya jungkir balik dengan kondisi di lapangan.
Melimpahnya poduksi jagung di Kabupaten Tuban tampaknya masih belum bisa dijadikan komoditi unggulan. Lemahnya pengelolaan di tingkat akar rumput menjadi pemicu peluang yang berserakan tersebut berubah mengenaskan. Dan, para pemangku kepentingans serta hajat hidup petani dituding telah kehilangan sense of crisis.
Puncaknya, tahun ini menjadi musim yang menyakitkan bagi petani jagung di Kabupaten Tuban. Secara keseleruhan lahan jagung mengalami kekeringan.
Menyimak kondisi timpang itu, hasil panen jagung tahun 2014 terbilang
kurang masksimal. Tadah hujan yang sering menjadi andalan banyak petani gagal total. Curah hujan sedikit, ditambah dengan pasokan pupuk yang sering macet diduga menjadi penyebabbnya.
Bahkan tahun ini, banyak petani yang gagal panen alias merugi karena tidak bisa memetik buah jagungnya. Meski tidak terjadi di semua kecamatan, namun setidaknya ada enam wilayah di Kabupaten Tuban mengalami gagal panen.
Diantaranya Kecamatan Soko, Parengan, Grabagan, Kenduruan, Jenu dan Kecamatan Plumpang. Sedikit sekali petani yang mampu mengembalikan biaya tanam dari hasil panen jagungnya. Harga jagung yang terus menurun akibat penindasan para tengkulak menjadi ancaman tersendiri.
Saat ini harga jagung hanya berkisar anatara Rp 2.500-2.700 per kilonya.
Sedangkan biaya setiap pohon jagung hingga panen dikalkulasi sekitar Rp 800. Angka ini dihitung dari harga benih, pupuk ,serta perawatan. Sedangkan untuk satu kilogram jagung bisa terisi dua sampai tiga tongkol jagung.
Jika diestimasi petani hanya laba sekitar Rp 200-300 setiap kilonya.
Dalam pengolahannya, mayoritas petani mengyunakan sistem off farm. Atau
biasa dikenal dengan panen jual dan terima uang. Tidak adanya pengolahan
lain untuk dijadikan bahan makanan atau lainnya.Jelas ini membuat petani
semakin tidak berkutik dengan hasil jagungnya.
Hasan Jaila (55), petani diKecamatan Tambakboyo, mengatakan banyak petani merugi untuk triwulan panen tahun ini. Banyak fakta di lapangan, kerugian disebabkan karena cuaca ekstrim. Namun disisi lain, juga belum maksimalnya pengolahan jagung yang menjadi komoditas Tuban. Baik menjadi bahan makanan atau lainnya.
“Perhitungannya itu jelas petani selalu merugi. Harga turun menjelang panen raya menjadi alasan. Kalau sedang tidak panen harganya bagus,“ kata Hasan, Rabu (25/06/2014) siang.
Petani lain di kecamatan Plumpang, Warkham (47), mengatakan gagal panen kali kekeringan. Apabila terus dipaksa untuk menanam jagung maka akan merugi. Alasan ini juga membuktikan bahwa lahan jagung di Kecamatan Plumpang terus berkurang. Dari sekitar 675 hektar lahan tanaman jagung menjadi sekitar 602 hektar saja.
“Lahan jagung banyak yang kosong. Ditanami selain jagung sekiranya kuat tanpa air seperti ketela pohon dan ubi,“ ujarnya.
Sementara itu Kabid Pangan dan Holtikultura Dinas Pertanian Pemkab Tuban, Suparno, mengatakan komoditas jagung tahun ini memang belum berakhir. Perhitungan maksimal dan tidaknya, biasanya dilakukan pada akhir tahun.
Kendala tadah hujan hingga sedikitnya pasokan air memang sudah hal yang sering terjadi. Langkah yang dilakukannya dengan terus memaksimalkan pengairan dari sungai dan pembuatan sumur bor.
“Dalam membuat sumur bor kita anjurkan untuk pada lahan yang tinggi. Agar bisa dipergunakan petani lainnya. Kalau tahun ini memang belum selesai semua, jadi belum bisa dikatakan komoditas turun atau tidak,“ papar Suparno
Dari data yang diperoleh Dinas Pertanian, sedikitnya lahan juga diakibatkan alih fungsi alahan menjadi tanaman lain. Ada sekitar 233 hektar lahan jagung beralih menjadi lahan ketela, ubi dan sekitar 78 hektare lahan tidak ditanami alias ditelantarkan. HANAFI