Kulit jagung atau biasa disebut klobot sering dibuang karena dianggap hanya bikin pemandangan kumuh. Jika pun toh dimanfaatkan paling hanya untuk pakan ternak. Tapi tentu saja bagi masyarakat yang memelihara ternak sapi atau kambing. Sementara kulit jagung yang dulu dimanfaatkan sebagian lelaki untuk membuat rokok klobot, kini mulai ditinggalkan karena dianggap tak praktis. Namun, di tengah apatisme terhadap klobot dijawab Jumiati dengan mengubahnya menjadi berbagai kreasi dan pundi rupiah.

seputartuban.com-Saat ditemui di rumahnya yang sekaligus bengkel kreatifitas klobot di Desa Remen, Kecamatan Jenu, Tuban, wanita 36 tahun ini sibuk mengerjakan berbagai kerajinan tangan berbahan klobot. Dengan dibantu beberapa wanita lainnya, Jumiati tampak asyik menyulap klobot menjadi kelopak bunga. Sementara para wanita yang umumnya tinggal berdekatan dengan Jumiati ada membuat tangkai bunga, sari bunga, daun hingga komponen bunga lainnya. Jika sebelumnya klobot hanya untuk pakan ternak atau dibuang menjadi sampah dan dibakar, tapi di tangan ibu dua anak ini klobot memiliki jual yang menggiurkan.
Menurut Jumiati, ide tersebut bermula saat dirinya melihat banyaknya kulit jagung saat musim panen tiba. Banyak petani yang membiarkannya berserakan dan tidak terawat. Kemudian, dicobanya dengan mengumpulkan tiap lembar klobot untuk dibawa pulang. Berbekal zat pewarna kertas, klobot diberi pewarna. Selanjutnya, dengan jari seninya klobot dilipat dan buat pola menyerupai kelopak bunga dan lainnya.
“Kita bentuk pola dahulu, kita potong dan dirangkai menjadi bunga utuh. Hasil kreasi sesuai bunga yang diinginkan, “kata Mbak jum, begitu sapaannya.
Saat merangkai, Jumiati mengaku harus menggunakan perekat kertas. Tak jarang harus menggunakan lem khusus agar lembaran klobor tertata cantik. Setelah terangkai bunga, dirinya tidak serta merta menjualnya. Sentuhan nilai tawar menjadi taruhan terakhir agar klobot bunganya diminati. “Kita harus bersaing dengan bunga plastik atau bahan lainnya. Harus ada corak dan khasnya, ” imbuhnya.
Dalam hal ini, dirinya membutuhkan plastik pembungkus yang diselimutkan diluar rangkaian bunga. Juga tidak kalah menariknya, tali pita untuk mengikatnya. Ditaanya harga jual, setiap tangkainya bervariatif. Tergantung tingkat kerumitan dan banyaknya bahan. Kisaran harga yang dipatoknya antara Rp 1.000 sampai Rp 2.000. Berbeda pula apabila bunga yang terangkai banyak, harganya akan disesuaikan, antara Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu. “Sementara kita jual dari orang ke orang saja. Kadang juga ikut pasar malam. Sementara kita memang ada kendala pada pemasaran, ” ucapnya.
Sampai saat ini, disribusi hasil kerajinannya tidak hanya dalam Kabupaten Tuban saja. Melainkan sudah ada pesanan dari luar kota, seperti Kabupaten Surabaya, malang, dan samapai Jawa Tengah. Pastinya, pesanan hanya dengan jumalh kecil, sehingga pendapatan yang diperolehnya hanya sekitar Rp 2-3 juta per bulan. “Itu masih kotor pendapatan. Sementara kita kerjakan dalam kelompok. Kalau partai besar, kita masih kuwalahan dalam bahan baku, harus dipilih dahulu, yang sobek atau terlalu muda daunnya juga tidak bisa, ” ucapnya.
Harapannya, bisa mendapat bantuan modal untuk pengembangan usaha. Nantinya bisa dipergunakan untuk pembelian bahan yang banyak. Apabila ada pesanan banyak bisa dilayani. Lainnya, bisa untuk membayar karyawan dan untuk promosi.
“Kita memang masih dalam ukuran kecil. Dana itu yang utama, kalau tenaga kerja kita banyak ibu-ibu yang bisa. Yang penting bisa dibantu untuk mengenalkan produk sudah senang, nanti rezeki juga ada,” harapannya. HANAFI