Hutan tak cuma sebagai rumah habitat hewan dan tumbuhan, namun juga menjadi tumpuan dan keniscayaan hidup masyarakat. Di Kabupaten Tuban, warga yang tinggal di Desa Guwoterus, Kecamatan Montong, adalah bagian kecil penggalan potret masyarakat yang secara nyata merasakan pentingya hutan bagi kehidupan. Terutama saat musim penghujan tiba. Apa itu?

seputartuban.com-Masyarakat yang tinggal di Desa Guwoterus termasuk beruntung. Guwoterus adalah sedikit dari kawasan yang masih menyisakan hutan alami di Kabupaten Tuban. Landscape-nya berupa daerah berbukit-bukit yang sangat beragam. Begitu pula formasi ekosistem yang membentuknya.
Rasanya tak cukup waktu seharian untuk menguras kisah di sebalik kehidupan masyarakatnya yang telah hidup berdampingan dengan hutan dan isinya, yang sudah berlangsung dari generasi ke generasi. Tapi di sela rutinitas sepanjang tahun, bagi warga Guwoterus ketika musim hujan datang menyambangi wilayah Kabupaten Tuban bagian barat itu, seolah menjadi waktu paling berharga di antara rentang setahun.
Bagi warga Guwoterus yang tinggal di kawasan hutan, saat ini waktunya berburu kepompong jati atau yang dalam bahasa setempat lebih populer disebut enthung jati. Selain untuk kuliner keluarga, sebagian besar justeru dijual sebagai ikhtiar tambahan penghasilan.
Kamis (25/12/2014) pagi, puluhan warga Desa Guwoterus sudah terlihat sibuk memilah dedaunan jati yang luruh di tanah basah sisa hujan semalam. Ya, mereka berburu enthung. Hewan yang sedang metamorfosa ini hanya sekali dalam setahun dapat diburu dan cuma ada di kawasan hutan jati.
Sudah sepekan terakhir ini warga berburu enthung jati di kawasan hutan yang masuk wilayah BKPH Mulyoagung, KPH Parengan ini. Ulat yang semula menempel di balik dedaunan sekarang sudah turun ke tanah untuk membungkus dirinya menjadi kepompong, sebelum akhirnya menjadi kupu-kupu.

Darwati, warga Dusun Krajan Desa Guwoterus, mengatakan dirinya berburu ulat dan kepompong bersama anaknya yang sedang liburan sekolah.
“Dari pada nganggur, dibuat kesibukan. Selain untuk lauk makan, kalau dapat banyak bisa dijual,” ungkap ibu dua anak yang kini menginjak 35 tahun ini.
Menurut dia, dalam sehari mampu mendapatkan 1 kilogram kepompong. Jika dijual dihargai Rp 60 ribu.
“Sekarang belum begitu banyak. Mungkin seminggu lagi baru banyak, karena ulatnya belum jadi enthung semua. Enthungnya kita jual sedangkan ulatnya kita masak sendiri untuk lauk,” tuturnya.
Paling enak enthung maupun ulat jati ini dimasak oseng-oseng dengan bumbu lombok, bawang merah, bawang putih, garam dan penyedap rasa. Cara masaknya sangat mudah. Dicuci lalu digoreng sesuai selera, bisa kering maupun setengah masak.
“Oseng-oseng enthung itu rasanya renyah, empuk, gurih. Apalagi adanya kan cuma setahun sekali. Mak nyus gitu lho,” kata Darwati menirukan gaya seorang presenter kuliner yang sering dia tonton di televisi.
Hanya sayangnnya, tandas dia, tidak semua orang bisa memakan masakan ini. Karena bisa saja alergi hingga mengalami gangguan pencernaan. Tapi bagi warga Desa Guwoterus hal itu tidak menjadi problem kesehatan, karena secara turun-temurun sudah mengkonsumsi kuliner tahunan ini dari waktu ke waktu. MUHAIMIN