Penulis : Hanafi
BANGILAN
seputartuban.com – Salah satu bukti kuatnya pengaruh budaya timur tengah dalam kehidupan masyarakat Indonesia, bisa kita dapati di Desa Bate, Kecamatan Bangilan, Tuban, Jawa Timur.
Didesa ini, terdapat sebuah kelompok kesenian Kentrung, yang konon merupakan warisan dari seorang pujangga Persia, yang singgah didesa ini untuk menyebarkan agama islam. Sayangnya seni Kentrung unik ini, dipastikan bakal segera sirna karena tidak ada generasi yang berminat meneruskannya.
Suara parau Mbah Surati melantunkan syair, diiringi oleh alat musik kendang dan rebana, sebentar lagi mungkin sudah tidak bisa lagi terdengar akrab ditelinga kita. Wanita tunanetra warga Desa Bate, Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban ini, sudah terlalu renta untuk mampu bertahan bersama kesenian tradisional Kentrungnya.
Tidak ada seorangpun anak yang dimiliki perempuan berusia 92 tahun ini. Ia hidup selama puluhan tahun di rumahnya yang sangat sederhana, hanya ditemani Mbah Samijo, suaminya. Karena kondisi Mbah Surati yang tunanetra, Mbah Samijo-lah yang terpaksa harus mengurus rumah tangga.
Pada masa masa lalu, kehidupan suami istri ini lumayan baik. Kentrungnya masih sering mendapat job. Namun dengan beriringnya waktu dan merangkaknya era modernisasi, seni Kentrung pun semakin terpinggirkan dan semakin jarang masyarakat yang mau mendatangkan satu-satunya grup Kesenian Kentrung yang masih eksis hingga jaman sekarang ini, disetiap ada event hiburan.
Lagu Kentrung Bate pada masanya sangat populer dan termasuk grup kesenian yang digandrungi oleh masyarakat Jawa Timur khususnya masyarakat Kabupaten Tuban, karena musik ini merupakan salah satu hiburan yang akrab didengar telinga warga masyarakat kala itu.
Ditemui seputartuban.com saat pentas di Gedung Tri Dharma beberapa waktu yang lalu, Mbah Rati, mengatakan bahwa Kesenian Kentrung Bathe termasuk kesenian khas dari Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Ketrung Bate adalah satu-satunya kelompok kesenian Kentrung di Kabupaten Tuban yang masih eksis hingga saat ini, namun sayangnya keberadaanya semakin tersingkir oleh kesenian modern dan terkena dampak dari era perkembangan. “sudah lama saya menggeluti kesenian kentrung ini, dari jaman jepang,” ujarnya berbahasa Jawa.
Namun kendati keadaan semakin sulit, Mbah Rati dan Mbah Samijo tetap setia dengan kentrungnya. Dibantu Mbah Setri (70) yang masih kerabat dekatnya, Mbah Rati yang berperan sebagai dalang kentrung, sekaligus penabuh kendang, berkeliling dari desa satu ke desa lainnya, melantunkan bait-bait syair yang kental dengan aroma Timur Tengah itu.
Cerita-cerita Amir Hamzah, Ngali Murtolo dan Dewi Pertimah yang menceritakan situasi dan kondisi Timur Tengah pra-Islam, hingga kekhalifahan Islam berkuasa, menjadi cerita pokok dalam setiap pentas Kentrung Mbah Rati ini. Nahkan diusianya yang sudah renta ini, Mbah Rati, Mbah Samijo dan Mbah Setri, masih sanggup bermain kentrung hingga ke Kabupaten Probolinggo.
Untuk sekali pentas Mbah Rati tidak pernah mematok harga. Namun rata-rata Mbah Rati dan grup kentrungnya, menerima honor Rp. 200 ribu rupiah untuk sekali pentas. Menjalani hidup sebagai pemain Kentrung memang tidak ringan. Menurut Mbah Rati, Dalang Kentrung harus bersih lahir batin, hingga posisi duduknya pun harus menghadap ke timur saat mementaskan kentrung ini.
Menurut Mbah Rati, posisi ini mengandung filosofi bahwa hidup harus selalu optimis, yakni selalu menyongsong terbitnya matahari. Disamping itu, seorang Dalang Kentrung harus rela menderita tunanetra dikala usianya senja, seperti yang Mbah Rati alami kini. Mungkin karena mitos inilah, yang menyebabkan tidak adanya generasi muda yang berm.inat menjadi Dalang Kentrung, karena takut buta saat usianya tua.
“saya dulu sering tampil nyanyi dimana mana, terkadang juga sampai keluar kota, tapi sekarang sudah tua jadi jarang main musik,” ujarnya saat ditemui seusai pentas Kentrungnya.