Meninggikan Persatu Tuban Sebagai Sepakbola Rakyat

Suka tidak suka, jujur harus kita sahihkan bahwa sepakbola bukan sekadar permainan mengolah bola yang dilakukan 11 pemain. Namun realitanya, di belahan dunia manapun sepakbola bisa membuat emosi seseorang terkadang menjadi liar.

MUHAIMIN
MUHAIMIN

seputartuban.com-Pendek kata, sepakbola telah menjadi bagian dari budaya. Bahkan sejumlah pakar Eropa menyebut sepakbola juga merupakan bagian yang tak bisa “dipissahkan” dengan politik dan perjuangan. Di India, sepakbola bisa kalah dengan idealisme kemanusiaan atawa di Tepi Barat, sepakbola digunakan sebagai ajang persahabatan Palestina-Israel.

Suasana emosi bercampur euforia yang ada di dalamnya membuat sebagian orang larut akan kebahagiaan, atau bahkan duka yang mendalam akibat dari hasil pertandingan atau bahkan gerak gerik di lapangan hijau itu sendiri.

Maka kemudian menjadi sangat tidak wajar jika menyentuh sepakbola amatir adalah sepakbola yang tidak bisa dipandang. Padahal, sejatinya sepakbola amatir ini sangat dekat berada di lingkungan kita. Bahkan keberadaannya tepat di depan mata kita sendiri. Seperti halnya keberadaan Persatu Tuban yang dalam kancah persepakbolaan nasional “dimasukkan” dalam kategoti sepakbola non profesional.

Untuk itu, kiranya tak perlu lantas berkecil hati ketika upaya Persatu berlaga dalam liga profesional dengan masuk dalam Divisi Utama tertunda. Tim sepakbola kebanggaan Ronggomania (sebutan suporter fanatik Persatu Tuban) ini kalah poin dengan kesebelasan Cilegon. Namun berita baiknya, berarti kedepan Persatu masih dapat menerima asupan dana dari APBD Tuban karena masih masuk kategori amatir atau belum klub profesional.

Kini pertanyaannya, apa yang sesungguhnya bisa dibanggakan dari sebuah sepakbola amatir?  Jawabannya beragam dan pro kontra. Tapi terlepas dari semua itu, yang pasti sepakbola amatir bisa lebih menggairahkan dibanding sepakbola industri (profesional) seperti yang sekarang banyak diimpikan klubu amatir untuk bisa melakukan migrasi.

Meski pada sisi lain, tak bisa dipungkiri liga profesional sudah merupakan tuntutan sepakbola modern. Namun melihat sejarah perserikatan sepakbola Indonesia, dimana kita harus memanfaatkan kelebihan luas dan rentang wilayah Indonesia dengan daratan yang setara, bahkan melebihi daratan Eropa barat, maka sudah selayaknya liga profesional dijalankan pada tiap tiap wilayah.

Yang perlu diatur adalah interkoneksi dari masing masing liga independen tersebut baik amatir maupun profesional. Kalau boleh dicontohkan, Jerman yang wilayahnya “hanya” seluas daratan Pulau Jawa saja, bahkan membagi liganya dalam beberapa negara bagian. Penyatuan liga di Indonesia terbukti selama ini hanya menimbulkan “malapetaka”.

Jika sejenak merunut ke belakang, hancurnya (perserikatan) sepakbola Indonesia, disadari atau tidak berawal dari penyatuan galatama dengan perserikatan. Galatama merupakan liga semipro atau pro pertama di Asia. Namun demi kemajuan liga pro yang banyak di rundung masalah akhirnya di satukan dengan kompetisi perserikatan (1994). Tapi ini justru menghasilkan kemajuan semu. Knyataannya adalah hancurnya pembinaan dan kompetisi perserikatan, yang telah berjalan bahkan jauh sebelum kemerdekaan.

Berkaitan itu, sebagian alangan berpendapat sepakbola Indonesia harus dikembalikan ke khittahnya. Yakni difungsikan kembali perserikatan sesuai dengan peran sejarahnya sebagai wadah pembinaan dan kompetisi sepakbola amatir seluruh wilayah Indonesia.

Hanya saja yang kemudian jadi persoalan, karena basis filosofi antara kompetisi Perserikatan dengan Galatama berbeda. Pertama, Kompetisi Perserikatan diikuti kontestan perserikatan sepakbola daerah yang hakikatnya bukan klub, tapi asosiasi sepakbola otonomi lokal. Sedangkan Galatama adalah liga dengan kontestan klub-klub sepakbola semi profesional.

Sepakbola daerah, pada umumnya memiliki liga sepakbola intern (antar klub) yang dikelola secara mandiri. Pemain-pemain terbaik di liga intern itulah yang dipilih dan menjadi tim untuk mengikuti kompetisi perserikatan. Polanya seperti asosiasi sepakbola nasional (PSSI) yang menyeleksi pemain untuk tim nasional (timnas). Jadi, tim perserikatan hakikatnya adalah tim daerah (timda).

Ini beda dengan tim Galatama yang berbasis klub dan berorientasi pada bisnis, sehingga pemainnya pun dibayar sesuai standar kompetensinya. Memang, kala itu, Galatama belum menemukanbentuknya sebagai liga professional murni, tapi rintisannya ke arah sana.

Tim perserikatan sebagai wakil daerah di kompetisi sepakbola nasional menggunakan dana APBD sebagai “omner”-nya. Sedangkan Galatama sebagai kompetisi (semi) profesional dananya berasal dari pemilik klub. Kompetisi perserikatan lebih menitikberatkan pada pride dan pembinaan sepakbola daerah, sedangkan Galatama berorientasi pada bisnis: industri sepakbola.

Penggabungan Kompetisi Perserikatan dan Galatama dalam payung Liga Indonesia pada 1994 merupakan jalan pintas yang, entah disadari atau tidak, bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Memang, jalan pintas ini dipilih karena klub-klub Galatama gagal membangun basis supporter sehingga mayoritas pertandingan sepi penonton. Akibatnya, satu per satu klub-klub Galatama rontok. Sedangkan tim-tim perserikatan tanpa kerja keras pun para supporter antusias berdatangan ke stadion.

Tentu ada sebab musababnya ini terjadi. Pertama, tim perserikatan umumnya sudah berusia lama. Perserikatan sepakbola yang besar seperti Persija Jakarta, Persib Bandung, Persebaya Surabaya misalnya, bahkan sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka. Kedua, semangat kadaerahan yang kental membuat tim perserikatan dengan mudah meraih dukungan supporter.

Ini berbeda dengan klub-klub Galatama yang relatif baru dan tidak membawa semangat kedaerahan yang kental. Oleh karena itu, penataan ulang kompetisi sepakbola Indonesia urgen dilakukan saat ini. Ya, saat ini juga, sebelum sepakbola Indonesia tersesat terlalu jauh.

Pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengembalikan perserikatan sepakbola daerah ke khittahnya sebagai tempat pengembangan sepakbola akar rumput (grassroot football development). Tugasnya, pertama, adalah memutar liga sepakbola intern untuk kembali menumbuhkan sepakbola rakyat.  MUHAIMIN, RAGAM SUMBER

Print Friendly, PDF & Email